Senin, 29 Agustus 2011

MUI Prediksi Ada Dua Hari Raya Idul Fitri Tahun ini (30 & 31 Agustus)


Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memperkirakan, hari lebaran tahun tidak serempak, ada dua kali hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriyah di tanah air. Muhammadiyah sudah memastikan Hari Raya pada 30 Agustus 2011, sementara  Nahdlatul Ulama diprediksi MUI pada 31 Agustus 2011.
”Diperkirakan Hari Raya Idul Fitri 1432 Hijriyah dua kali yaitu, hari Selasa 30 Agustus dan Rabu 31 Agustus,” kata Toha Abdurrahman selaku Ketua MUI DIY, di Yogyakarta, Rabu (10/8/2011).
Menurut Toha, perkiraan dua kali hari Raya Idul Fitri tersebut disebabkan karena Selasa malam 30 Agustus itu, hilalnya baru 1,49 derajat.
Toha menuturkan, yang berlebaran hari Selasa tanggal 30 Agustus itu landasannya adalah menggunakan Al-Qur’an dengan metode hisab, seperti Muhammadiyah. Sedangkan yang Lebaran hari Rabu 31 Agustus juga menggunakan Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW dengan cara rukyah, seperti yang dilakukan NU.
”Saya mengimbau kepada masyarakat supaya tidak saling mempermasalahkan itu. Hari Raya dua kali itu tidak masalah. Terserah masyarakat mau Lebaran yang mana,” katanya. [taz/viv]
 Sumber

Lebaran Idul Fitri Tahun 2011 Berbeda Hari (Lagi)

Tahun 2011 ini umat Islam di tanah air akan kembali berbeda hari dalam merayakan Idul Fitri (baca berita ini). Muhammadiyah sudah jauh-jauh hari mengumumkan lebaran jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011 karena posisi awal bulan (hilal) sudah terlihat di atas satu derajat (tetapi kurang dari dua derajat). Sementara Nahdhatul Ulama (NU) kemungkinan akan mengumumukan lebaran jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011 karena hilal kurang dari dua derajat sehingga puasa digenapkan menjadi 30 hari.
Tidak sekali ini saja kita umat Islam berbeda dalam merayakan Idul Fitri. Antara NU dan Muhammadiyah sering terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Yang dipermasalahkan adalah angka dua derajat itu. Angka dua ini semacam threshold yang menentukan keputusan awal bulan baru. NU dan Muhammadiyah — dan juga ormas Islam yang lain — tentu mempunyai alasan yang sama kuat kenapa harus dua derajat, kenapa bukan 1 derajat, dan sebagainya. Bagi Muhammadiyah, jika bulan sudah “terlihat” (secara perhitungan) meskipun tingginya hanya nol koma sekian derajat maka sudah dianggap masuk bulan baru. Sementara bagi NU (dan juga beberapa ormas yang lain) menetapkan tinggi hilal harus di atas dua derajat sebagai pertanda dimulainya bulan baru.
Ormas-ormas Islam di Indonesia terlalu banyak jumlahnya dan masing-masing menetapkan cara perhitungan awal bulan sendiri-sendiri. Mereka sulit sekali bersatu untuk menyatukan kalender Hijriyah. Usaha-usaha untuk mempersatukan ormas itu dalam perhitungan tanggal-tanggal penting tidak pernah berhasil dari dulu hingga sekarang. Ada ego masing-masing kelompok yang dipertahankan oleh mereka. Alasan yang jamak dipakai — saya kira sudah “bosan” mendengar alasan ini — adalah “perbedaan itu adalah rahmat”. Mengapa tidak mencoba menghilangkan perbedaan itu untuk mencari persamaan demi persatuan dan kemaslahatan umat Islam? Perbedaan waktu hari raya hanya menyebabkan kebingungan di tengah masyarakat yang awam mengenai agama.
Diluar cara perhitungan tinggi bulan di antara kedua ormas besar itu, ada pula kelompokyang menetapkan waktu hari raya berdasarkan ketetapan di Mekah. Jika di Mekah shalat Ied pada hari X, maka jamaahnya di Indonesia juga mengikuti waktu Mekah itu. Menurut saya ini pandangan yang aneh, bukankah bumi itu bulat dan posisi bulan baru yang dilihat di Mekah dan di belahan bumi lain tidak selalu sama. Seharusnya penetapan waktu itu mengikuti kondisi di negara masing-masing.
Adanya perbedaan waktu hari raya itu tentu membuat perayaan lebaran di tengah masyarakat menjadi sumbing. Ada yang sudah lebaran pada hari Selasa, sementara sebagian lagi pada hari Rabu. Ada yang sudah takbiran, sementara sebagian lagi masih makan sahur. Inginnya kita merayakan hari raya bersama-sama, tetapi ego masing-masing ormas itu membuat umat terpecah-pecah.
Memang sih perbedaan hari raya itu disikapi biasa-biasa saja oleh umat Islam. Tidak ada gejolak pertentangan di tengah masyarakat. Semua memaklumi kondisi yang demikian sebab sudah sering terjadi. Namun alangkah elok kalau kita merayakannya bersama-sama. Janganlah jadikan “perbedaan itu rahmat” sebagai alasan pembenaran. Penyamaan itu tetap bisa dilakukan jika setiap ormas mengedepankan toleransi dan menghilangkan ego masing-masing kelompok. Lihatlah kenapa Mesir bisa satu suara dalam menetapkan waktu hari raya, atau Malaysia yang juga satu, kenapa di Indonesia tidak bisa?
Yang menarik adalah tidak ada perbedaan di antara ormas-ormas itu dalam menetapkan tanggal 1 Muharam (tahun baru Hijriyah), tanggal 27 Rajab (Isra’ dan Mi’rah), dan tanggal 12 Rabiul Awal (Maulid Nabi). Mereka kompak mengikuti penanggalan merah yang ditetapkan Pemerintah dalam menentukan hari libur nasional untuk hari-hari besar itu. Apakah anda melihat perbedaan hari antara NU dan Muhammadiyah dalam penetapan tahun baru Hijriyah? Saya belum pernah melihat berbeda, atau mungkin saya yang salah. Mungkin karena tanggal 1 Muharam, Maulid Nabi, dan Isra’ Mi’raj tidak berkaitan dengan ibadah seperti penentuan awal Ramadhan dan hari raya, maka tidak ada perdebatan dalam penentuan tanggalnya.
Yang hampir selalu menjadi pertanyaan saya yang bodoh ini dalam hal astronomi dan perkalenderan adalah, jika penetapan hari raya sering berbeda sejak zaman dulu hingga sekarang, seharusnya kalender hijriyah masing-masing ormas pun sudah bergeser jauh berhari-hari. Namun anehnya, perbedaan yang timbul hanya satu hari saja, bisa lebih dulu atau lebih lambat. Kenapa perbedaan awal bulan hanya satu hari saja? Saya tidak mengerti.
Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar